Munculnya gigi bungsu terkadang sangat mengganggu bagi sebagian orang, meskipun belum tentu semua orang memiliki masalah terhadap gigi bungsu ini.
Saya sendiri mengalami masalah dengan gigi bungsu dari semenjak tengah tahun yang lalu. Awalnya, saya merasakan sakit pada gigi bungsu setiap habis makan, karena terdapat sisa-sisa makanan yang tertinggal di dalam lubang pada gigi bungsu tersebut.
Saya memiliki dua buah gigi bungsu pada bagian rahang bawah kanan dan kiri. Celakanya, gigi bungsu saya tersebut tumbuhnya miring dan mendesak gigi di depannya. Karena tumbuhnya miring, mengakibatkan sisa-sisa makanan terkadang tertinggal dan mengakibatkan lubang pada gigi, hingga akhirnya gigi bungsu saya tersebut berlubang.
Lubang tersebut yang menjadi masalah. Ketika terisi sisa-sisa makanan, maka akan terjadi proses penguraian yang menghasilkan zat-zat bersifat asam dan akhirnya akan merusak lapisan email gigi.
Satu-satunya jalan adalah dengan mencabut gigi bungsu tersebut, karena secara fungsionalitas gigi tersebut tidak berfungsi secara maksimal untuk proses pengunyahan makanan. Selain itu, tumbuhnya gigi bungsu tersebut seringkali malah mengganggu gigi-gigi di depannya.
Perjalanan panjang menuju operasi
Karena sakitnya sudah tidak tertahankan kalau sedang kumat, akhirnya saya beranikan diri untuk pergi ke dokter gigi. Saya termasuk orang yang tidak terlalu percaya diri (takut lebih tepatnya 😆 ) untuk pergi ke dokter gigi, sebab saya sudah tahu kalau gigi saya itu memang tidak begitu bagus. Ada beberapa yang memang sudah berlubang.
Seperti yang saya duga, diagnosa dokter gigi di faskes tingkat satu adalah bahwa gigi-gigi bungsu saya harus dicabut. Kemudian saya diberikan rujukan ke rumah sakit atau faskes tingkat dua. Setelah didaftarkan, saya pun mendapatkan surat rujukan.
Pada saat hari H, saya ditemani istri pergi ke rumah sakit rujukan tersebut. Sampai di sana, walaupun agak ribet di urusan administrasi, karena mesti bolak-balik meja security dan meja pendaftaran. Akhirnya kami bisa sampai tahap foto Rontgen gigi dan tanpa biaya sama sekali karena kami memakai BPJS. Yang agak aneh adalah bahwa hasilnya baru bisa diambil seminggu kemudian sekalian konsultasi dengan dokter giginya. 😐
Satu minggu kemudian, saya datang lagi ke RS rujukan tersebut untuk mengambil hasil rontgen. Setelah mengantri cukup lama di depan sebuah ruangan praktek dokter gigi, akhirnya kami dipanggil. Dokter gigi wanita paruh baya itu kemudian menjelaskan kondisi gigi saya melalui hasil foto rontgen tersebut. Ketika saya tanya akan diambil tindakan kapan, beliau malah bingung dan meminta kembali surat rujukan dari klinik faskes tingkat satu. Padahal menurut pemahaman saya, surat rujukan yang sudah saya masukkan ketika melakukan foto rontgen itu mestinya sebagai acuan untuk semua proses tindakan di rumah sakit faskes tingkat dua tersebut.
Tapi untuk sementara, saya terima dulu apa yang disampaikan oleh dokter tersebut. Tidak lupa hasil rontgen saya bawa sebagai pegangan.
Lalu saya kembali ke klinik faskes tingkat satu untuk mengkonfirmasi kebenaran perkataan dokter tersebut. Dan seperti yang saya duga, dokter gigi di faskes tingkat satu menyampaikan bahwa surat rujukan sebelumnya sudah bisa menjadi dasar bagi rumah sakit tersebut untuk melakukan tindakan medis ke saya. Jadi tidak perlu surat rujukan lagi.
Akhirnya saya tetap meminta surat rujukan lagi, dan kembali lagi ke rumah sakit faskes tingkat dua tersebut. Sesampainya di sana saya langsung menuju pendaftaran untuk tindakan operasi. Nah, di sinilah mulai terkuak kebenarannya. Jadi, rumah sakit tersebut beralasan dokter bedah mulut yang bertugas sudah memiliki antrian pasien panjang untuk dilakukan tindakan. Paling cepat baru bisa ditangani setelah 3 bulan. WHAT??? 3 Bulan? Bisa gila karena sakit gigi saya!!! 😐
Saya sudah menangkap maksud mereka. Jadi, mentang-mentang saya menggunakan BPJS, mereka secara halus menolak untuk menangani saya. Mungkin karena tarifnya terlalu murah atau apa pun itu. Maklum mereka kan berstandar internasional… Gak level lah ya kalau harus menangani pasien BPJS. 🙁
Menyadari hal tersebut, saya kemudian menelepon ke klinik faskes tingkat satu, menanyakan apakah saya masih bisa berganti rumah sakit? Dan Alhamdulillah, mereka bersedia untuk mengganti surat rujukannya. Tanpa menunggu lama, saya pergi dari rumah sakit tersebut dan kembali ke klinik untuk minta rujukan ke rumah sakit yang lain.
Lalu saya pilih rumah sakit yang lebih dekat dari rumah dibandingkan dengan rumah sakit sebelumnya.
Pada hari yang telah ditentukan, saya pergi ke rumah sakit kedua. Setelah melalui proses pendaftaran yang tidak terlalu lama, kami pun mengantri di depan ruang praktek dokter gigi.
Ketika tiba giliran saya, dokter tersebut kemudian memeriksa kondisi gigi saya, dan membandingkan dengan foto rontgen yang sudah saya bawa. Tanpa menunggu lama, dia kemudian menunjuk satu tanggal di kalender kecil di atas meja. “Tanggal ini ya operasinya, setelah ini silahkan ke bagian pendaftaran operasi untuk memesan tempat dan syarat-syarat lainnya.”
Wow! Secepat itukah? Saya masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang barusan saya dengar. Mengingat saya sempat terkatung-katung, dilempar ke sana kemari oleh rumah sakit yang sebelumnya. Di sini ternyata tanpa basa-basi saya langsung ditangani.
Saya pun akhirnya mengikuti instruksi yang diberikan oleh Bu Dokter gigi tersebut. Setelah proses pendaftaran, kemudian saya diminta untuk melakukan tes darah dan rekam jantung sebagai prasyarat menuju meja operasi.
Proses operasi
Pada hari yang telah disepakati, saya dan istri datang pagi-pagi sekali ke rumah sakit sesuai janji dengan tim administrasi. Setelah melakukan pendaftaran, kemudian saya dibawa ke ruangan rawat inap, di mana hal tersebut telah merupakan satu paket dengan paket operasinya itu sendiri. Saya diletakkan di ruangan kelas 2, yang berisi 3 orang pasien. Infus mulai dipasang di tangan.
Kemudian pukul 11, saya mulai dibawa menuju kamar operasi. Baju saya pun diganti dengan baju operasi. Setelah itu, saya dibawa ke sebuah ruang tunggu di depan kamar operasi, bersama 2 pasien lainnya. Tak berapa lama, tempat tidur saya pun didorong memasuki kamar operasi. Yang saya ingat hanyalah bahwa di sana ada lampu besar yang sangat terang berikut dengan beberapa tenaga medis yang sudah memakai baju kerja mereka. Setelah dipindahkan ke meja operasi, kemudian mereka memasukkan sesuatu melalui selang infus, dan kemudian saya tidak sadarkan diri…. 😆
Mata masih terasa ngantuk dan badan masih terasa berat, namun sayup-sayup terdengar beberapa orang sedang berbincang. Kemudian terlihat sebuah wajah yang familiar, ya, wajah istri saya. Ternyata saya sudah di ruangan pasca operasi. Mulut saya masih terasa tebal ditambah ada kapas yang menyumpal supaya darah yang masih keluar tidak meleber ke mana-mana.
Dari ruangan tersebut, saya dibawa kembali ke ruangan rawat inap. Di sana sudah dipenuhi penunggu pasien yang baru datang. Dengan kepala yang masih agak pusing, saya hanya berbaring saja ditemani istri tercinta. Tak berapa lama, datang perawat untuk mengecek kondisi saya. Kemudian setelah mengukur tekanan darah, saya diperbolehkan untuk minum meskipun hanya sedikit.
Menjelang sore, kami putuskan untuk segera pulang saja dan tidak ingin berlama-lama di rumah sakit. Ditambah, di tempat tidur sebelah, suara si kakek mengerang dan mengaduh kesakitan membuat kami semakin tidak nyaman. Rupanya yang memenuhi ruangan tersebut adalah keluarga si kakek tersebut.
Setelah dilakukan pengecekan oleh dokter jaga dan hasil konsultasi dengan dokter bedah mulut, akhirnya kami boleh pulang sore itu juga. Kami diminta kembali untuk kontrol seminggu kemudian.
Bebas dari gigi bungsu yang mengganggu
Setelah luka bekas operasi benar-benar pulih, rasanya sungguh nyaman sekali, meskipun agak terlihat ompong di bagian belakang. Ketika makan pun tak perlu khawatir akan ada sisa-sisa makanan yang tertinggal dan menyumpal di pojokan. 🙂
Akhirnya saya benar-benar merasakan mulut yang merdeka dari gigi bungsu yang mengganggu.
Jadi itulah pengalaman saya dengan gigi bungsu. Awalnya saya termasuk orang yang takut ke dokter gigi. Namun kini setelah urusan gigi bungsu saya beres, saya menjadi lebih percaya diri untuk pergi ke dokter gigi. Apalagi di kantor kami juga ada klinik gigi, jadi sekarang sudah bisa melakukan pemeriksaan gigi dan scaling (pembersihan karang gigi) setiap 6 bulan sekali.
Saya tidak setuju kalau ada yang bilang lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Yang benar adalah lebih baik tidak sakit gigi dan tidak sakit hati… Hihihi…
One Comment on “Balada Gigi Bungsu”