Beberapa hari ini, media massa baik cetak maupun elektronik memborbardir kita dengan berita mengenai banjir yang menggenangi Jakarta. Hampir semuanya membahas banjir yang terjadi tahun ini. Meskipun hujan yang turun belum selebat seperti tahun kemarin dan banjir tidak / belum sampai menggenangi Bundaran HI, namun pemberitaan di media massa sungguh massive, bahkan menenggelamkan berita tentang meletusnya Gunung Sinabung.
Banjir memang sudah menjadi PR bagi siapa pun yang memimpin Jakarta sejak bertahun-tahun yang lalu. Banjir juga menjadi semacam ikon yang melekat ke Jakarta. Dan, konon banjir juga sudah terjadi sejak masa pendudukan Belanda, yang pada saat itu namanya masih Batavia. Itulah mengapa banyak kita lihat kanal-kanal besar (namun banyak yang tidak berfungsi 😥 ) di Jakarta. Artinya, dari jaman dahulu Jakarta sudah menjadi daerah yang menjadi lintasan air kiriman dari Bogor. 😥
Alasan banjir yang terjadi tahun ini menjadi penghias di halaman-halaman media cetak dan elektronik adalah karena pengaruh embel-embel yang menyertainya. Apakah embel-embel itu? Yaitu Pak Gubernur dan Pak Wakil Gubernur yang eksepsional, unik, dan berbeda dari periode-periode sebelumnya. Background mereka yang berasal dari daerah dan partai yang berbeda, serta style kepemimpinan yang berbeda selalu menjadi buah bibir di media. Pak Joko Widodo (baca: Jokowi) dengan kesederhanaan dan kepolosannya yang selalu “blusukan” dari kampung ke kampung untuk menjaring apa yang menjadi kebutuhan rakyat, sedangkan Pak Basuki T. Purnama (baca: Ahok) dengan ketegasan dan keberaniannya merubah budaya kerja Pemda DKI seolah menjadi kombinasi yang unik, meskipun masih terlalu dini untuk mengatakan mereka adalah pasangan yang pas. 😳
Adanya dorongan dan dukungan yang kuat agar Pak Jokowi menjadi Capres di Pemilu 2014 juga menjadi salah satu sebab, mengapa banjir Jakarta menjadi barometer tingkat popularitas dan kesuksesannya dalam membenahi Jakarta. Di lain pihak, ada pihak-pihak yang memanfaatkan banjir ini sebagai alat untuk menjatuhkan popularitas Pak Jokowi yang melejit pada beberapa survey Capres tahun 2014. Inilah yang memprihatinkan. Bencana yang terjadi digunakan sebagai alat untuk melakukan manuver politik, bukannya bahu-membahu untuk mengatasinya secara bersama-sama. Dengan kata lain, Banjir yang dipolitisir.
Terlepas dari semua masalah politik tersebut, banjir di Jakarta ini sudah seharusnya menjadi PR kita bersama. Banjir ini terjadi juga karena ulah kita yang masih belum begitu peduli terhadap lingkungan. Kalau kita tidak mau merubah pola hidup yang lebih ramah lingkungan, bukan hal yang mustahil jika kelak Jakarta akan tenggelam.
Selama dari kita masih belum memiliki kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya dan malah membuangnya ke selokan atau sungai, maka sampai kapan pun proses normalisasi sungai dan waduk tidak akan membuahkan hasil yang maksimal. Selain itu, sudahkah kita memiliki kesadaran untuk menanam pohon meskipun itu hanya satu atau dua di sekitar tempat tinggal kita?
Tidak perlu melihat jauh-jauh. Ketika selesai acara Jakarta Night Festival dalam rangka menyambut tahun baru, sampah yang dihasilkan adalah sekitar 150 ton dan sebagian besar tersebar begitu saja di jalanan. Lalu kemudian ada yang berkomentar, “Pada saat itu minim tempat sampah.” Jika kita sudah memiliki kepedulian dan budaya yang peka terhadap lingkungan, maka minimnya tempat sampah tidak akan menjadi alasan / justifikasi untuk membuangnya di sembarang tempat (di jalan, misalnya). Kita bisa kok, membawa atau menaruhnya di tas terlebih dahulu, untuk dibuang kemudiandi tempat yang seharusnya. Jadi jangan heran, ketika debit air dari hulu meningkat dan melintasi sungai-sungai Jakarta harus terhambat oleh sampah dan akhirnya meluap.
Di tengah bencana seperti ini, sebaiknya kita tidak dengan mudah saling menyalahkan namun justru sebaliknya. Kita semua harus instropeksi dan bersinergi dalam menghadapi bencana ini. Singkirkan dahulu semua atribut, warna bendera, warna kulit, dan segala perbedaan yang ada. Kita bahu-membahu untuk membantu saudara-saudara kita yang sedang dilanda kesusahan.
Hindari saling menghujat apalagi memfitnah, hargai dan hormati langkah-langkah yang sudah diambil oleh pemimpin. Karena ketika kita berada di posisi mereka, belum tentu kita dapat melakukan hal yang sama. Untuk mengatasi bencana khususnya banjir, tentunya membutuhkan peran serta semua pihak, baik dari pusat, daerah, bahkan sampai level masyarakatnya itu sendiri. Belajarlah untuk menanamkan budaya serta perilaku yang lebih bersahabat terhadap alam. Jika kita menyayangi alam, maka alam pun akan menyayangi kita pula. 🙂
Menarik memang pembahasan tentang banjir yang terus menjadi sorotan tiap musim hujan tiba, pasti lebih seneng sy jika di sertai dengan data tentang kawasan2 yang paling parah sebagai langganan banjir agar bisa di hindari untuk di lewati hehehe, anyway jadi inget pas festival Jak-Japan di monas, walau acara di gelar di tempat yg sama tapi pas pulang hampir tidak ada sampah yg tertinggal, knp? Karena org2 jepang bener2 concern tentang sampah dan menyediakan tenaga ‘pemungut sampah’ utk para pengunjung indonesia 🙁 pendidikan buang sampah pada tempatnya harusnya masuk kurikulum pendidikan sekolah ini hahaha.. 😐
Kalau gak salah, sekarang di media-media online juga sering diupdate kok mengenai peta-peta banjir.
Untuk pendidikan “buang sampah pada tempatnya” saya setuju banget kalau dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dasar di negeri kita, barengan dengan “budaya mengantri”.