Proses Pemilihan Umum (Pemilu) kali ini terasa sangat berbeda dibanding Pemilu sebelumnya. Perbedaan yang dirasakan adalah tingkat antusiasme masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Pada saat Pemilu Legislatif memang masih belum begitu tampak, walaupun sudah mulai terlihat poros-poros yang bermunculan. Poros-poros ini kemudian mengerucut menjadi dua kutub/kubu besar yang saling berseberangan. Dan pada akhirnya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kali ini hanya memunculkan dua pasangan calon.
Begitu keran kampanye dibuka, byurrr!!! Semua informasi yang menyangkut visi, misi segera disosialisasikan oleh masing-masing kubu. Media sebagai ujung tombak dalam proses ini pun akhirnya terbelah menjadi dua. Ketika taipan-taipan media mulai merapat ke salah satu kandidat. Maka dimulailah yang namanya perang informasi. Profesionalisme dan kode etik jurnalistik dikesampingkan demi mendukung salah satu kandidat dan menjatuhkan yang lainnya. Bahkan ada media yang secara terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap salah satu kandidat. Hal semacam ini menurut hemat saya telah menodai apa yang dinamakan kode etik jurnalistik (meskipun saya sendiri kurang paham makanan seperti apakah itu, hanya saja kelihatannya enak, hehehe…).
Metode ini rupanya cukup efektif dalam membentuk opini publik, walaupun di era yang penuh keterbukaan seperti ini, hal tersebut sedikit sulit untuk dilakukan. Masyarakat dapat melakukan riset mandiri dengan mencoba membandingkan sebuah tema berita dari media satu dengan media yang lainnya. Walaupun secara manusiawi pada akhirnya masing-masing orang hanya membaca berita yang ingin mereka dengar.
Sosial media juga membuat “pertempuran” diantara pendukung masing-masing kubu menjadi semakin semarak. Masing-masing orang dengan pilihannya berusaha meyakinkan dunia (semua orang yang menjadi temannya) bahwa calon yang mereka dukung adalah yang terbaik. Demi mendukung pendapat mereka, mulailah bermunculan reporter-reporter dadakan. Berbagai macam link berisi berita yang mendukung calon pilihannya serta link berita yang berisi kelemahan-kelemahan kubu lawan langsung dishare di halaman Facebook, Google Plus ataupun time line Twitter mereka. Mereka tidak melakukan crosscheck terlebih dahulu dan menjustifikasi bahwa semua berita yang mereka share adalah benar adanya. Terkadang saya sendiri juga bingung, yang dishare adalah berita ataupun artikel dari sebuah situs yang selama ini belum pernah terdengar. Boleh jadi situs tersebut baru dibikin saat musim kampanye Pilpres.
Tidak jarang pertemanan pun renggang karena masalah perbedaan pilihan. Menurut saya pribadi, proses kampanye sudah mulai mengarah ke proses pendidikan politik yang kurang sehat untuk masyarakat kita. Alih-alih menentukan pilihan demi terwujudnya Indonesia yang lebih baik, mereka memilih hanya karena taqlid/tunduk secara buta kepada calon pilihannya. Masyarakat kita lebih mengedepankan figur ketimbang visi misi yang diusung. Ketika sudah menjatuhkan pilihan terhadap salah satu kandidat, maka berita negatif tentang calon idamannya itu akan dicap sebagai fitnah. Baginya, calon pilihannya itu tiada cela dan sempurna.
Alhamdulillah, kini proses itu sudah kita lewati. Proses Pemilu pun sudah selesai kita laksanakan. Setiap orang sudah memberikan hak suaranya. Namun, ternyata tidak cukup berhenti sampai di situ saja. Karena masih ada pihak yang kurang puas dengan hasil akhir Pemilu. Menuding bahwa pilpres penuh kecurangan dan KPU tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Mohon maaf, sebagai salah satu ujung tombak yang turut menyukseskan terselenggaranya Pemilu, terus terang secara pribadi saya merasa sedikit tersinggung. Mengapa? Karena kami terutama yang berada di luar negeri sudah berusaha melaksanakan tugas sebagai PPLN dengan sebaik-baiknya. Dan saya yakin teman-teman yang tergabung dalam KPPSLN adalah orang-orang yang memiliki integritas yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Kami sudah melaksanakan tugas kami secara profesional dan penuh tanggung jawab. Jadi, mohon dikoreksi jika masih ada pernyataan yang menyatakan bahwa dalam Pemillu kali ini ada penyimpangan yang masiv dan terstruktur.
Hasil akhir telah diperoleh, MK pun sudah memutuskan. Jadi apa lagi yang akan dicari? Jangan kuras pikiran dan perhatian kami untuk hal yang itu-itu saja. Mengapa tidak memanfaatkan segala daya dan upaya untuk lebih memajukan bangsa ini? Toh, memajukan bangsa tidak harus sebagai presiden, to? Terjun langsung ke masyarakat, memberikan bantuan kepada penduduk-penduduk di pedalaman dan perbatasan menurut hemat saya jauh lebih efektif ketimbang menghamburkan uang untuk menyewa banyak pengacara untuk mengajukan banding ke MK ataupun pengadilan yang lebih tinggi. Janganlah kita berhenti di sini saja. Bangsa ini harus terus maju. Kita tidak bisa terjebak dalam ketidakpastian. Kita harus move on. Menerima kekalahan secara lapang dada, koreksi kekurangan yang ada, dan berbuat lebih nyata, niscaya yang demikian itu lebih mulia.
Sudahlah, kami sudah lelah. Masih terlalu banyak PR yang menunggu kita di depan. PR yang hanya bisa diselesaikan jika kita semua bersatu, menghilangkan sekat-sekat yang kita buat, dan bahu membahu dengan damai dan bersahabat. Kita semua adalah saudara, saudara sebangsa dan setanah air, senasib sepenanggungan. Mari jangan kita sia-siakan amanah kemerdekaan yang telah dititipkan oleh para pejuang pendahulu kepada kita. Mari berkarya demi kemajuan bangsa dan negara.
Merdeka!
Salam.